Thursday, April 22, 2010

KONFLIK ISLAM—BARAT YANG TAK KUNJUNG SELESAI

KONFLIK ISLAM—BARAT YANG TAK KUNJUNG SELESAI[1]

By: A. Ajidin

Prolog

Untuk kesekian kalinya kita akan membahas dan mendiskusikan tentang konflik yang terjadi selama ini, semua kejadian dengan pasti selalu dikaitkan dengan adanya agama. Dalam hal ini, agama yang selalu menjungjung tinggi kemulyaan dan hak-hak asasi manusia. Karena manusia di ciptakan oleh Tuhan untuk saling menghormati dan saling menghargai.

Dilihat dari sisi terminologi, kata “agama”menurut bahasa sansekerta adalah “kumpulahan aturan”. Dengan akar kata “gam” yang berarti “pergi’dan awalan “a” berarti “tidak” maka “agama”berati “tidak pergi”atau “yang tidak berubah”. Kalau “gama”diartikan “kacau” maka “agama”artinya “yang tidak kacau” atau “teratur”. Berangkat dari pengertian terminologis ini, agama merupakan pedoman dasar untuk membuat manusia pemeluknya hidup teratur sesuai dengan yang di ajarkan agama itu. Agama diklaim sebagai “kebenaran mutlak”karena dipercaya ajarannya bukan berasal dari manusia melainkan dari Tuhan yang diturunkan kepada manusia melalui utusnnya.[2]

Hal ini, agama selalu berkaitan dengan sebuah keyakinan atau keimanan para pemeluknya. Dimana para pengikut agama akan selalu beriman dan percaya atas ajaran agamanya masing-masing.

Term “iman”berasal dari bahasa Arab “amana-yu’minu-imanan”, berarti percaya, tunduk atau taat. Dalam terminologi ketuhanan, kata “iman”memiliki makna sebagai keyakinanan terhadap adanya Tuhan dengan segala konsekuensinya (mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya). Karena itulah, diskursus keimanan menjadi tema sentral bagi semua agama. Agama manapun di muka bumi ini, pasti meyakini (mengimani) adanya Zat yang mencipta alam semesta seisinya, termasuk manusia. Perbedaan penyebutan nama Tuhan; Allah, Sang Hyang Widi, Dewa, Thian ataupun lainnya, bukanlah menjadi penghalang bagi keimanan seseorang. Substansi Tuhan, sungguh-pun disebut dengan beribu-ribu nama, hakikatnya satu, yaitu Zat pencipta alam semesta seisinya serta mengatur roda kehidupan segala makhluk di dunia hingga akhirat.[3]

Pada hakekatnya semua agama akan mengajarkan kepada kebenaran dan kepada keyakinan. Terutama Islam yang selalu mengajarkan kepada umat dan pengikutnya untuk bersikap tunduk, dan taat terhadap ajaran-Nya. Karena Islam agama Allah yang di bawa melalui utusan-Nya Nabi Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muthalib. Sedangkan Nabi Muhammad di utus kemuka bumi ini, untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana sabdanya yang tidak asing lagi buat kita. “Aku (Muhammad) hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak (moralitas) yang baik”. Islam agama yang mengakui semua utusan dan mengakui semua Nabi Allah yang diturunkan kemuka bumi ini, untuk mentauhidkan umat-umatnya.

Benturan Peradaban

Konsep sejarah Islam juga memberikan sumbangan terhadap tradisi revolusioner dan dinamisme Islam. Bagi Muslimin, sejarah merupakan suatu proses yang hidup dengan suatu tujuan untuk dicapai dan dengan tekad mencapai tujuan itu; menegakkan umat Islam yang adil dan universal. Sementara merujuk model masa lalu, Muslimin juga mengharapkan tercapainya ummat Islam yang transformasi dan sempurna kemasa depan yang dapat diramalkan.[4]

Rasa-rasanya buat kaum Muslimin perlu merenung ulang, bahwa sesungguhnya agama Islam merupakan agama keadilan, yang kemudian itu perlu pula mengamalkannya sesuai dengan porsi dan posisinya masing-masing. Apakah ia sebagai pelajar, sopir maupun pedagang kakilima dan sebagainya. Karena agama Islam secara eksplisit menyebutkan masalah keadilan tidak kurang dari 56 ayat di dalam Al-Qur’an, belum lagi yang inplisit dalam bentuk perumpamaan. Misalnya, surat ar-Rahman, ayat 7-9, kemudian didalam hadits atau dalam sunnah-sunnah Rasulullah saw. yang di jelaskan dan percontohkan dalam risalah-risalah para Rasul Allah semenjak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad saw. Kesemuanya membawa tugas menyampaikan keterangan tentang jalan hidup yang beresensi kebenaran hakiki serta untuk menegakakkan kebenaran tersebut, agar dapat berdiri tegak atau dapat hidup sesuai dengan hakikat keberadaanya. Jadi tegaknya keadilan adalah prasyarat utama bagi masyarakat manusia yang beradab dan martabat.[5]

Apakah yang sekarang terjadi dengan adanya karikatur Nabi Muhammad, sebagai salah satu benturan peradaban antara Islam dan Barat. Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh Samuel Huntington, dalam The Clash of Civilization.

Atau lebih jauhnya kita bisa melihat tentang kejadian karikatur tersebut terjadi pada 17 September 2005 di Denmark. Yang diterbitkan oleh majalah “Politiken” dengan judul “al-Rahbatu al-Syadidah min ‘Itiqhadi al-Islam”, di tulis oleh Carry Pulotiken. Dan pada tanggal 30 Sepetember 2005, gambar karikatur ini, di muat kembali sebanyak 12 gambar karikatur, sebagai penghinaan kepada Nabi Muhammad saw. Carry Pulotiken menulis artikel dengan judul “wajh Muhammad”, dan secara serempak gambar ini, di muat oleh koran Nerwegia Magajinet, dan koran Jerman “Die Welt”, koran Perancis “France Soir”, dan koran-koran yang lainya, terdapat di Eropa dan Amerika.[6]

Dikatakan juga dalam majalah Alwaei tersebut, bahwa tentang penghinaan terhadap Nabi sudah berlangsung sejak abad 8 M, yang berhubungan permasalahanya dengan Kitab Yuhana al-Damsyki (676-749 M) dengan judul “al-Harthaqah”. Sedangkan pada abad modern muncul tentang gambar karikatur muhammad saw. dalam beberapa buku yang beredar di Barat, di antaranya dalam buku “Hayatu Muhammad”, ditulis oleh seorang orentalis asal Perancis bernama “Siyurdy Riyar”. Dan buku ini, dicetak di London pada tahun 1719. Bahkan setelah kejadian peledakan Pentagon 11 september 2001, tersebar juga gambar tentang penghinaan kepada Nabi, padahal Nabi yang kita Imani dan kita yakini, adalah seorang yang membawa kedamian dan rahmat bagi umatnya. Pada tahun 1997 Israel juga menyebarkan penghinaan kepada Nabi dengan menyebarkan gambar karikatur yang merupakan penghinaan terhadap Nabi, yang di tulis oleh “Tatina Susken”.[7]

Apakah ini, yang di gambarkan Barat terhadap Islam. Padahal ada sebagian penulis Barat yang menerangkan bahwa Muhammad mempunyai pribadi sebagi peletak sejarah dunia yang membawa kedaiman dan ketentraman. Pada abad yang lalu sampai pada abad modern. Diantaranya; Thomas Arnold, Bernad Soo, Ana Mary Samuel, dan Michael Hart, yang menulis buku tentang “al-Kholiduun Mi’at ‘Adzamuhum Muhammad Rasulullah”, dia mengatakan di antara seratus pemimpin yang berhasil menyebarkan kedamain dan berdakwah di dunia ini, adalah Muhammad. Hal ini, tentu di dasarkan pada beberapa sebab. Pertama; Karena risalahnya komprehensif untuk dunia dan akhirat. Kedua; Karena dakwahnya menyebar keselusuh pelosok dunia Timur dan Barat. Ketiga; Dari pertama dia mampuh menyatukan mereka menjadi golongan umat yang satu (ummatan wahidah).

Saat ini, teologi Islam mendapat tantangan yang besar sekali. Tentu saja, teologi tidak cukup hanya di pahami sebagai “ilmu tentang ketuhanan”yang taken for granted saja di kalangan umat beragama. Tatapi, lebih dari itu, di tuntut untuk menerjemahkan apa yang di sebut sebagai “kebenaran agama”dalam konteks realitas sosial kehidupan manusia. Dengan begitu, teologi bukan sekadar “sebuah wacana ilmu ketuhanan” yang cenderung bergerak di “wilayah ide”an sich, melainkan juga menumbuhkan “kesadaran teologis” yang bersifat praksis bagi kalangan beragama dalam rangka memecahkan problem-problem sosial yang menghimpit kehidupan umat manusia.[8]

Dialog Agama Apakah Sebuah Solusi?

Dari sudut pandang kaum Muslimin, saling pengertian dan dialog merupakan akibat logis ajaran asasi Kitab suci al-Qur’an. Pada titik mula sekali, logika saling pengertian dan dialog antaragama dapat di telusuri akar-akarnya dalam pandangan bahwa sebenarnya agama alam semesta ini adalah al-Islam, yaitu sikap pasrah yang total kepada Sang Maha pencipta. Kitab suci memberikan berbagai ilustrasi tentang ketundukan, ketaatan dan kepasrahan alam semesta kepada Tuhan[9]. Di antara Firman Allah swt.

Bertasbih kepada-Nya seluruh langit dan bumi, juga mereka yang ada di dalamnya. Tidak ada sesuatu apa pun kecuali bertasbih dengan pujian kepada-Nya, namun kamu sekalian (manusia) tidak mengerti[10]

Manusia hidup didunia ini, tidak bisa terlepas dari sebuah komunitas masyarkat. Yang beraneka ragam, jenis, warna kulit, dan bangsa, serta agama sekalipun. Sedangkan manusia beragama bukan berarti harus lari dan kabur dari sebuah realitas yang ada, akan tetapi bagaimana kita memahami agama sebagai jalan untuk menuju sebuah kebahgian dunia dan akhirat. Sebagai contoh Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bisa menjalin hubungan dengan baik, dengan yang lain, dalam artian dengan beda agama. Karena semua agama mengajarkan kepada sebuah kebenaran. Sekalipun Islam mempunyai pandangan hidup yang luas bagi umatnya.

Dalam Al-Qur’an misalnya; “Siapakah yang tidak senang kepada agama Ibrâhîm kecuali orang yang membodohi dirinya sendiri?!. Kami sungguh telah memilihnya di dunia, dan Akhirat pastilah ia tergolong orang-orang yang saleh. Ketika Tuhan berfirman kepadanya, “Pasrahlah engkau!” Ia menjawab, “Aku pasrah kepada Tuhan seru sekalian alam. Dan Ibrahim pun berpesan dengan ajaran itu kepada anak-anaknya, begitu pula Ya’qub: “Wahai anak-anaku, sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk kamu ajaran ketundukan (al-Din), maka janganlah sampai kamu mati kecuali sebagai orang-orang Muslim (pasrah kepada Allah)’. Apakah kamu menjadi saksi saat maut datang kepada Ya’qub, ketika ia bertanya kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kalian sembah setelah aku tidak ada? “Mereka, Ismail, dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kami semua orang-orang yang Muslim kepada-Nya”.[11]

Pada dasarnya Islam mengajarkan kepada manusia secara individu maupun kelompok manusia secara universal harus terbuka kepada agama yang ada di muka bumi ini. Karena merupakan sebagian cipataan Allah swt.

Kalaulah pendapat yang mengatakan bahwa ”manusia modern tidak lagi dapat menerima pandangan yang menyatakan hanya satu agama yang benar, tetapi banyak” dapat di terima oleh seluruh manusia yang mengaku modern, niscaya topik pertemuan kita, tidak perlu dibahas.[12] Ayat 62 surat Al-Baqarah menyatakan bahwa: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang Shabiin; siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian serta beramal saleh, mereka semua akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka dan tidak akan kuatir, tidak pula akan bersedih”

Kalaulah ayat ini dipahami oleh umat Islam sebagaimana bunyi harfiahnya, dan di terima pula oleh para pengikut agama-agama tanpa mengaitkannya dengan tesk-teks keagamaan yang lain, niscaya absolutisme dan keberagamaan akan sangat berkurang, atau pupus sama sekali. Seandainya paham yang menyatakan “kebenaran agama adalah apa yang di temukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaan cara keberagamaan umatnya”, atau apa yang di kenal dalam ajaran Islam dengan istilah tanawu’al-‘ibadah, niscaya tidak akan timbul kelompok-kelompok yang saling mengkapirkan.[13]

Sedangkan menurut Louis. Kattsof, “agama ialah suatu unsur mengenai pengalaman-pengalaman yang di pandang mempunyai nilai yang tertinggi. Pengabdian kepada suatu kekuasaan yang di percaya sebagai sesuatu yang menjadi sebagai asal mula, yang menambah dan yang melestarikan nilai-nilai ini, dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan dan pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan upacara-upacara simbolis maupun melalui perbuatan-perbuatan lain yang bersifat perseorangan dan yang bersifat kemasyarakatan”.[14]

Dalam dua kutipan tadi, kita bisa memahamai bahwa keberagamaan seseorang tidak akan sempurna dengan tidak memahami keberagamaan orang lain. Dalam artian kita bisa saling menghargai dan saling berkomunikasi dengan agama yang lain. Agar tercapai suatu perdamaian dan di muka bumi ini.

Menurut Prof.Dr. Muhammad Hamdi Zaqzuq, beliau mengatakan; “bahwa dialog antar agama merupakan realitas yang tidak bisa di elakan yang harus dilakukan secara individu maupun kelompok, untuk menuju sebuah kebenaran, perdamaian, dan keadilan, sehingga adanya pemahaman antar agama. Maka dengan demikian di tuntut adanya keikutsertaan para pengikut agama masing-masing untuk mencapai sebuah kesepakatan”.[15] Dengan begitu, tidak akan terjadinya saling mencurigai dan membenci, bahkan tidak adanya satu agama dengan agama yang lain di katakan terorisme.

Penulis, merasa yakin kalau seadainya di alog antar agama, merupakan salah satu solusi, yang bisa menjamin adanya saling pengertian dan saling menghormati antar agama. Selagi dialog itu sesuai dengan koridor agama masing-masing. Bahkan tidak akan terjadi adanya benturan peradaban. Sebagaimana yang sering kita dengar dari Barat. Tapi menurut penulis, bahwa Barat atau siapa saja yang menuduh Islam salah satu peradaban yang akan menghancurkan mereka, itu hal yang salah. Karena Islam di turunkan oleh Tuhan kemuka bumi melalui lisan Nabinya adalah sebagai rahmat untuk sekalian alam.

Epilog

Kita menamakan dialog Timur dan Barat dalam pengantar, disebabkan karena kita secara geografi terletak di Timur dan tidak ada korelasinya dengan “Persepsi Imprealisme” atau ”Sufi”, menurut ahli Timur. Dan begitu juga secara “Rasional”, menurut Barat. Dengan begitu, kami katakan bahwa kedua elemen ini, mempunyai keistimewaan masing-masing secara sosial, politik, dan agama. Yang pada dasarnya semua mempunyai peradaban yang berbeda-beda.[16]

Karena mungkin bisa jadi, kita (Timur) dan Barat mempunyai pandangan hidup yang berbeda-beda. Sesuai dengan apa yang kita yakini dan kita pelajari dalam Kitab suci. Akan tetapi Al-Qur’an juga menegaskan bahwa kita diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kita saling mengenal. Dalam hal ini, dialog antar agama merupakan salah satu saling mengenal, agar tidak terjadi penghinaan dan pelecehan antar agama.

Karena karakteristik pandangan hidup Islam akan dapat dipahami dengan lebih jelas jika dibandingkan dengan pandangan hidup lain. Perbandingan yang paling relevan untuk saat ini adalah pandangan hidup Islam dan Barat.[17]

Kenapa hal ini, menjadi sangat relevan pandangan hidup Islam di sandingkan dengan pandangan hidup Barat. Mungkin bisa jadi agar tidak ada kecurigaan Barat terhadap Islam. Dan Barat agar mengetahui bahwa Islam adalah agama yang menghormati peradaban yang lain. Terakhir yang menjadi pertanyaan penulis, adalah kenapa konflik Barat dan Islam sampai saat sekarang ini. Tidak pernah selesai?. Apakah betul pertanyaan itu. Mari kita diskusikan bersama. Wallahu ‘alam..



[1] Coretan ini dipresentasikan pada Sabtu 18 Maret 2006, disekretariatan IKBAL, dalam acara diskusi gabungan antara IKBAL Bandung dan IKBAL AL-MIEIN Madura.

[2] Tulisan ini, saya ambil dari Kolomnya HD. Haryo Sasongko, tentang Agama dan Pluralisme Demokrasi.

[3] Lihat. Aqiel Siradj, MA. Prof. DR. KH. Islam Kebangsaan Fiqih Demokratik Kaum Santri, hal: 43, Pustaka Ciganjur, Cet, 1999.

[4] A. Ezzati. Gerakan Islam Sebuah Analisa, Judul asli; The revolutionary Islam. Penj Agung Sulistyadi, Pustaka Hidayah, hl: 92. Cet. April 1990.

[5] Islam Muti Dimensional, 18 Tokoh—Ilmuwan dan Cendikiawan angkat bicara”, di terbitkan atas kerjasama Lemabaga Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Teknologi dengan Penerbit Amarta. Hal: 90.

[6] Lebih jelasnya baca Majalah Alwaei, edisi, 486, bulan Maret 2006 atau bulan Shafar 1427 H. Hal:24.

[7] Ibin. Hal: 25.

[8] Lihat. Budy Munawar-Rahman, Islam Pluralis, wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Pengantar; Djohan Effendi, Paramadina, hal: 322.

[9] Lihat. Passing Over, Melintas Batas Agama, Penerbit Gramedia, hal; 7.

[10] QS. Al-Isra’/ 17: 44.

[11] QS. Al-Baqarah/ 2: 130-133.

[12] Lihat. M. Quraish Shiahab, Dr. “Membumikan Al-Qur’an”, hal: 217, Pustaka Mizan, cet. Desember 1995.

[13] Ibid. hal: 217.

[14] Lihat. Louis. Kattsof, “Elements of fhilosofy”, di alih bahasakan oleh: Soejono Soemargono, menjadi “ Pengantar Filsafat”, hal: 436, cet. Juni 2004, penerbit Tiara Wacana Yogya

[15] Lebih jelasnya bisa dibaca al-Islam wa Qhadaya al-Hiwar, Muhammad Hamdi Zaqzuq, Prof.Dr. Wizaarah al-Auqhaf, hal: 69, cet. 2002.

[16] Lihat. Hiwar al-Masyriq wa al-Magrib, Dr. Hasan Hanafi dan Dr.Muhammad Abid al-Jabiri, hal: 22, penerbit Ru’yah Li Nasyr wa al-Tauzi’.

[17] Pendapat ini, saya ambil dari Kumpulan makalah Wokshop Pemikiran Islam Kontemporer, Ahad-Selasa, 19-21 februari 200., hal: 9

No comments: