Saturday, May 22, 2010

Kapan Manusia Akan Merasa Kenyang

Kapan Manusia akan Merasa Kenyang

Di keramaian mobil yang lalu lalang dijalan. Dipinggir jalan dibawah pohon yang rindang ada seorang anak muda yang sedang termenung. Sambil menikmati segarnya angin yang sepoy-sepoy di siang hari menyegarkan tubuhnya. Entah apa yang ada dalam pikiran anak muda itu. Orang-orang pun tidak ada yang tau.

Ketika ia sedang enak-enaknya melamun, tiba-tiba dikagetkan dengan datangnya seorang kakek tua. Kemudian sang kakek tua itu, bertanya pada anak muda. Wahai, anak muda! Apa gerangan yang engkau pikirkan? Engkau masih muda, gagah, kuat dan sehat. Tapi, kenapa engkau banyak melamun. Hidup ini terlalu singkat hanya dipakai untuk melamun. Kata si kakek tua itu pada anak muda yang sedang duduk melamun tersebut.

Kemudian anak muda itu, menoleh si kakek tua sambil ia menjawab pertanyaanya. “Kek” Kenapa yah! manusia yang ada di dunia ini tidak pernah merasakan kenyang atau cukup dengan apa yang di dapat. Padahal, semuanya mereka sudah punya dan miliki. Mereka punya uang, punya mobil, punya istri yang cantik, dan mereka punya segalanya. Tapi, tetap saja mereka tidak pernah merasa puas dengan semuanya.

Hmmm, kakek tua itu hanya tersenyum mendengar perkataan anak muda tadi. Lalu, sang kakek berkata pada anak muda. “Anak muda” engkau masih muda tapi pikiran engkau telah menerawang jauh ke alam sana. Bagus anak muda! Kata si kakek.

Engkau tau kenapa? Karena manusia diberi hawa nafsu oleh Tuhan. coba, kalau manusia seperti Malaikat yang tidak memiliki nafsu apa jadinya. Hidup akan monoton dan tidak ada perubahan. Lantas, apa hubungannya nafsu dengan tidak pernah merasa kenyang kek?

Sabar anak Muda. Kakek akan menjelaskan kepada engkau. Tuhan memberikan salah satu anugrah pada manusia berupa hawa nafsu. Jika manusia bisa menggunakannya anugrah itu dengan baik. Maka, semuanya akan baik. Apalagi, mereka bisa mengendalikan hawa nafsunya untuk hal-hal yang telah diperintahkan Tuhannya. Maka, mereka akan bahagia. Tapi, kalau tidak mereka akan lebih buas dari binatang.

Kemudian anak muda itu bertanya lagi. Jadi, intinya apa kek dari semua penjelasan tadi. Kakek itu hanya tersenyum seraya ia menjawab. Intinya, kalau manusia di dunia ini tidak pernah bersyukur dan menerima dengan apa yang telah di dapatnya. Maka, mereka sampai kapan pun tidak akan pernah merasa kenyang dengan apa yang telah di dapatnya. Karena hawa nafsunya selalu merasuki jiwanya. Dan mereka tidak bisa mengendalikan hawa nafsu tersebut dengan baik. Dan mereka tidak pernah bersyukur.

Jadi, sampai kapan pun kalau mereka tidak bersyukur pada Tuhan dalam hidupnya. Maka, segala apa yang telah di perolehnya selalu kurang dan kurang. Hingga tanah mengubur tubuhnya.

Lalu, anak muda itu menganggukan kepalanya. Tanda ia paham dengan segala penjelasan sang kakek tua itu. Sambil tersenyum, lalu ia berkata pada kakek tua itu. Thank’s, ya kek! Atas segala penjelasannya.

Dari di alog di atas antara anak muda dan si kakek tua. Kita bisa mengambil sebuh pelajaran yang berharga. Bahwa dalam hidup ini kita tidak akan merasa cukup dan kenyang dengan apa yang telah kita peroleh. Kalau kita tidak pernah bersyukur pada Tuhan yang telah memberikan segalanya.

Karena keinginan manusia selagi hayat masih dikandung badan tidak akan pernah berhenti. Kecuali ajal menjemputnya.

Jadi, bersyukur dan bisa mengendalikan hawa nafsu dengan baik. Maka, hidup akan selalu indah, merasa cukup dan kenyang. Walaupun, sebenarnya kita secara materi adalah golongan yang miskin. Tapi, dengan syukur pada Tuhan segalanya serasa cukup dan mengenyangkan. Wallahu’alam.



Kairo, 17-5-2010
Ajidin

Thursday, May 13, 2010

Potret Pesantrenku


Potret Pesantrenku

Oleh. Ajidin[i]

Kira-kira sembilan tahun lalu. Saya telah merasakan suasana pondok pesantren, atau lebih kren-nya disebut Islamic boarding school. Suasana itu, terus teringat ketika saya mulai belajar dan mengenal istilah kitab kuning. Para santri lebih kental menyebutnya dengan istilah kitab gundul. Entah, dengan alasan apa para santri lebih asyik menyebutnya kitab gundul daripada kitab kuning. Maybe, memang tidak ada harakat jabar, fatah, dan sebagainya mereka menamakannya dengan istilah kitab gundul. Hmm, jauh dari paradoksnya istilah itu, saya disini bukan untuk membahasnya. Karena masih banyak yang lebih kompeten untuk membahas itu.

Selama di pesantren saya telah menimba beragam ilmu. Mulai, dari belajar baca Qur’an, kitab, dan ilmu-ilmu alat (seperti, ilmu nahwu, dan yang lainnya). Suka dan duka pun saya alami di pesantren. Semuanya, telah memberikan kontribusi untuk kemajuan keilmuan saya. Tidak lupa pula, ilmu hal (prilaku) saya pelajari. Seperti, tatakrama terhadap guru, interaksi terhadap sosial, dan ilmu yang lainnya dipelajari di pesantren.

Pesantren telah mencetak santri-santri yang berilmu, sekaligus berakhlak. Karena peranannya pesantren, bisa mencetak santri yang bisa bersaing di era global, dan era informasi pada saat ini. Era informasi, dan era teknologi yang semakin maju memberikan peluang pada santri yang lulusan pesantren untuk ikut berperan di dalamnya.

Tidak menutup kemungkinan, santri pada saat sekarang ini berbeda dengan santri yang ada pada zaman dulu. Dalam artian, santri yang dulu belum mengenal istilah internet, atau fasilitas yang lainnya. Tapi, sekarang santri telah mengenalnya. Jadi, secara zaman telah mengalami perubahan yang signifikan.

So, dewasa ini informasi merupakan “komoditas primer”. Dengan demikian, para santri diharapkan mampuh untuk menyerap informasi tersebut dengan baik. Dengan tujuan, santri tidak ketinggalan zaman dengan adanya era modern sekarang ini. Seiring dengan kemajuan zaman yang semakin maju, dan peradaban yang semakin berkembang. Seyogyanya, para santri bisa maju pada era ini.

Kalau kita menilik pesantren tempo dulu, sekarang dan dimasa-masa yang akan datang. Maka, pesantren akan tetap relevan untuk mencetak proses pembelajaran santri dalam menyerap ilmu-ilmu keislaman.

Dengan ciri khas metode pembelajaran dipesantren yang unik. Tetap pesantren bisa memberikan kontribusi yang signifikan dalam memajukan peradaban ini. Tidak kalah pesantren dengan lembaga-lembaga yang lainnya.

Kita tengok misalnya, di India, Mesir atau negara-negara Timur Tengah lainnya. Sebuah lembaga, yang dulunya tidak dikatakan sebagai Universitas. Dan sekarang menjadi sebuah Universitas ternama. Al-Azhar misalnya, dulu hanya sebuah lembaga yang mendidik para santrinya dengan cara “halaqah, atau sorogan”. Tapi, dengan metode yang unik itu bisa menghasilkan para ulama-ulama besar, cendikiawan-cendikiawan terkenal, dan para pemikir yang hebat. Siapa yang tidak kenal, prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Yusuf al-Qaradawi, dan sederetan ulama-ulama yang lainnya. Semua itu, tertelorkan dari lembaga al-Azhar.

Proses waktu yang mengajarkan semua itu. Sebuah lembaga pesantren yang telah memberikan peran penting di dalamnya. Jadi, kita jangan malu untuk menjadi santri. Karena santri yang smart, berwawasan luas, dan berakhlak al-Karimah tidak akan takut untuk bersaing dengan era modern sekarang ini. Bahkan, santri akan memberikan peranan penting bagi masyarakat luas.

Inilah sekilas tentang potret pesantren, yang telah memberikan segudang ilmu kepada saya. Dalam perjalanan hidup saya, pesantren telah memberikan pembentukan karakter yang maha dahsyat. Dimana, saya tidak lagi merasa minder karena hanya sebatas lulusan pesantren. Tapi, kontribusi itulah yang dibutuhkan masyarakat pada saat ini. Wallahu’alam.

Kairo,12 Mei 2010



[i] Penulis, adalah alumni Pon-Pes al-Asy’ary Simpang Purwakarta.

Saturday, May 8, 2010


DAMAI DENGAN TARIAN SUFI

Oleh. A Ajidin[*]

Tokoh Jalaludin ar-Rumi, seorang sufistik yang mengagungkan kecintaannya pada Sang Khaliq lewat lantunan bait-bait syairnya. Semua orang mengaguminya. Tak terlepas dari sosoknya memberikan gambaran cinta lewat lantunan bait-bait syair.

Kecintaan seseorang memang, bisa di gambarkan lewat apa saja. Tak terlepas bait-bait syair ar-Rumi menjelaskan dan menggambarkan tentang makna cinta itu. Ia lantunkan untuk memuji dan mengagungkan Sang pencipta jagat raya ini.

Memang, sangat indah. Ketika cinta itu di ilustrasikan lewat bait-bait syair dan tarian. Sebagaimana, pernah saya lihat, ketika tarian sufi itu dipertontonkan pada khalayak ramai. Di dalamnya dinyanyikan bait-bait syair, menggambarkan begitu agung dan mulia Sang Pencipta. Seolah-olah Tuhan itu mendekat, ketika tarian dan lagu itu lantunkan.

Nah, itu saya saksikan di Wakelat el-Ghouri Arts Center, al-Tannoura Traditional Troup. Tidak jauh dari masjid al-Azhar Kairo. Kebetulan pementasan tarian tersebut gratis. Bagi orang yang ingin menyaksikan tarian itu, tinggal datang saja kesana. Waktunya, dimulai jam 8.30 pm, setiap malam minggu.

Yang menarik bagi saya pada waktu itu, dimana penontonnya bukan hanya orang-orang islam saja. Tetapi banyak turis-turis yang datang dari mancanegara untuk menyaksikan al-Tannoura Traditional Troup. Di antaranya, ada dari Italia, Spanyol, Yunani, China, dan negara yang lainnya.

Saya pikir, ketika sekarang sedang marak-maraknya perselisahan tentang peradaban, antara islam dan Barat. Maka, salah satu solusi penting untuk mengenalkan budaya tarian sufi kepada mereka. Karena dalam tarian itu, mengandung unsur kesufistikan dan sekaligus hiburan. Dimana, orang tidak melihat lagi unsur diskriminatip dalam tarian tersebut. Yang ada, malah hiburan yang mereka dapatkan. Walaupun, dalam isi bait-bait syairnya berisikan pengagungan terhadap Sang Maha Kuasa.

Namun, mereka hanya bisa melihat unsur hiburan dalam tarian itu. Tetapi, pada dasarnya mereka bisa menikmatinya dengan baik. Ini sisi positipnya, untuk menggambarkan begitu damai dan indahnya islam bagi mereka.

Jauh, paham atau tidak mereka tentang makna bait-bait syair yang dilantunkan. Tetapi, toh mereka bisa merasakan dan menikmatinya dengan khusu’. Tanpa bergeming sedikit pun, dari tempat duduknya. Mereka terus menyaksikan tarian itu hingga selesai.

Apa yang menjadikan mereka betah? Karena disana tidak lagi ada sekat. Apakah ia seorang muslim, atau non muslim. Apakah ia seorang turis, atau non turis. Tapi yang mereka rasakan pada waktu itu, hanyalah hiburan. Sebuah seni pementasan yang menggambarkan sebuah kedamaian dan kecintaan yang maha luhur.

Untuk bisa bersatunya seorang manusia lemah, dengan Sang Kekasih yang Maha Tinggi. Semua, penonton pada waktu itu bisa merasakannya. Dengan adanya getaran musik yang dibarengi tarian, sekaligus lantuntan bait-bait syair. Bisa menggetarkan hati yang mendengar dan melihatnya. Betapa tidak, suara pelantun bait-bait syair yang menyebutkan nama Allah, begitu khusu’nya. Hingga penontonpun terbuai dengan lantunan tersebut.

Tarian sufi bisa menjadikan solusi untuk sebuah kedamaian. Menerangkan ke Barat, bahwa islam dengan peradaban dan seninya bisa dinikmati dengan penuh ketenangan. Tidak harus dihantui perasaan takut, dan mengerikan sekeliling islam. Karena seni bisa dinikmati oleh semua kalangan. Tidak hanya khusus golongan-golongan tertentu.

Dengan demikian, perdamaian bisa diciptakan dengan baik. Lewat budaya tarian-tarian sufi. Di mana mereka tidak melihat lagi, peradaban islam yang mengerikan. Tetapi, mereka tertarik dengan peradaban islam yang kaya dengan seni budaya.

Semoga, tarian sufi bisa membangkitkan peradaban islam. Yang penuh damai, penuh kecintaan, penuh persahabatan, dan penuh kasih sayang. Karena memang, pendahulunya mengajarkan seni itu untuk ilustrasi kasih sayang dan cinta. Terhadap Sang Pencipta yang Maha Tinggi. Wallahu’alam.


[*] Mahasiswa al-Azhar Kairo Pecinta Seni Budaya.

Monday, May 3, 2010

KALAU SAJA MANUSIA BISA MEMINTA…!!!

KALAU SAJA MANUSIA BISA MEMINTA…!!!

Di sore hari, kebetulan saya di kamar kosan mempunyai sebuah Aquarium. Yah, lumayan cantik dan indah. Walaupun, tidak seindah mentari yang menyinari bumi disore itu. Hmmm, saya perhatikan ikan yang ada dalam Aquarium itu dengan seksama. Asyik ! adem rasanya hati ini melihat ikan. Ia hidup tanpa rasa beban, dan selalu gembira. Ia lari kesana-kemari dengan riangnya.

Seketika, terlintas dalam fikiran. Lalu, saya berkata pada diri sendiri, sambil memperhatikan ikan satu persatu. Ada yang lari ke kanan, ada yang lari ke atas, ada juga yang kejar-kejaran sama temannya. Dengan riangnya ikan itu bermain tanpa rasa bosan sekalipun. Bagaikan pasangan kekasih yang sedang di mabuk cinta.

Kemudian, saya bergumam sendiri. Apa ikan itu, merasa bosan, merasa jenuh, merasa bt, merasa stres tidak yah. Seperti, kebanyakan manusia. Jawabannya, saya sendiri pun tidak tahu. Munkin karena keterbatasan saya sebagai manusia yang tidak mengerti bahasa hewan yang bernama ikan.

Tetapi, yang menjadikan saya kagum terhadap ikan tersebut, mereka dengan riang dan gembiranya tanpa beban ikan itu hidup di dalam air yang berada dalam Aquarium. Saya perhatikan mereka dengan cermat. Ah, bahagia sekali ikan itu.

Jadinya, saya seperti orang gila sendiri ( upss, tidak donk, intermezo). Kemudian, saya berkata kepada ikan itu, tentunya dengan bahasa-bahasa saya sendiri donk.....hehe, mereka paham atau tidak. Yang penting saya sendiri paham.

Begini, saya berkata pada ikan, “alangkah bahagianya yah! engkau ikan hidup, engkau hidup tanpa beban, tanpa banyak keinginan, dan tanpa banyak masalah yang sering manusia hadapi”. Seperti, saya ini. Tetapi, engkau selalu hidup bahagia”.

Ikan pun, membisu seribu bahasa tidak menjawab perkataan saya. Hmmm, yah! memang ikan tidak bisa bicara. Coba, kalau ikan bisa ngomong, pasti mereka tak pernah bohong. Mereka hanya melihat saya dengan matanya tanpa berkedip sedikitpun. Kalau pun mereka berkedip, waaaaah ! saya yang jadi ketakutan sendiri. Pastinya, saya sudah ngacir sambil menggunakan jurus langkah seribu. Kalau perempuan cantik yang ngedipin sih, tidak tau yah! Hmmm, Ini ikan yang ngedipin matanya, aneh kali,...heheh.

Sebenarnya, tidak ada hubungannya ikan dengan tulisan ini. Hanya, saya suka makan ikan. Habisnya, ikan enak sih. Apalagi, ikan makanan yang bergizi. Ah, jangan tanya masalah pergizian saya kurang paham. Lagian, saya bukan dokter ikan yang paham tentang permasalahan ikan dilihat dari segi kesehatan. Ataupun, dari segi yang lainnya. Tahunya, saya ikan adalah makanan yang enak dan bergiji, itu saja.

Begini, ikan juga sama-sama makhluk ciptaan Tuhan seperti manusia. Tidak ada bedanya dengan manusia. Apalagi, kalau kita lihat dalam segi ilmu Mantiq (logika) kita sama ikan, adalah sama-sama hewan. Hanya, bedanya kalau manusia adalah hewan yang berakal, kalau ikan hewan yang tidak berakal.

Jadi, intinya kita sama juga donk dengan ikan dan makhluk yang lainnya, sama-sama hewan. Nah, lho kita disamakan dengan ikan atau hewan yang lainnya. Anda jangan salah paham dan marah dulu sama saya yah. Tunggu dulu, kemarahan anda sebentar. Kata orang engga baik lho suka cepat marah. Jadi, bedanya apa? Ah, sebenarnya kita dalam segi bentuk dan rupa saja sudah beda dengan ikan. Terus, yang dimaksud saya agar kita beda dengan ikan, apanya?

Nah, itu tadi kita makhluk Tuhan yang telah diberikan kelebihan akal untuk berfikir. Beda dengan makhluk-makhluk yang lainnya. Kita bisa jadi lebih mulia dari malaikat. Apabila, kita bisa menggunakan akal dengan baik. Dan kita juga bisa jadi lebih rendah daripada Syaitan dimata Tuhan. Apabila, kita menggunakan akal yang telah diberikan-Nya tidak baik.

Karena akal membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya. Dengan akal, manusia bisa memilih, berfikir, bertindak, dan menjalankan segala apa yang telah di perintahkan Tuhan kepada-Nya. Dengan akal bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Begitu juga, kita dengan hewan yang namanya ikan. Nasib kita akan sama seperti ikan, kalau kita tidak bisa menggunakan kelebihan kita dengan baik. Bahkan, bisa jadi ikan akan lebih mulia daripada manusia di sisi Tuhan. sebagaimana Tuhan sendiri mengatakana “bahkan mereka akan lebih sesat daripada hewan”. Jika manusia tidak bisa menggunakan kelebihan akalnya dengan baik.

Wah, sedih sekali yah hidup kita. Ternyata, kita akan lebih rendah nilannya daripada ikan. Kalau segala kelebihan tidak digunakan dengan baik. Ikan sih masih enak dagingnya, dan masih bisa di konsumsi oleh manusia. Tapi manusia itu sendir? Aduh, tidak kebayang. Waktu hidup aja, udah tidak berguna, gimana matinya yah. Lagian, daging manusia udah tidak enak. Kecuali kanibal kali yang suka daging manusia.

Ah, kalau saja manusia bisa meminta. Saya akan meminta untuk dilahirkan kedunia ini menjadi ikan saja. Biar hidup ini, tidak mempunyai beban, tidak mempunyai tanggungjawab, tidak akan ditanya nanti di akhirat. Bebas dari segala pertanyaan dan tanggungjawab. Tapi, tidak bisa! Saya telah dilahirkan kedunia ini menjadi manusia.

Mmm, persis keinginan saya ini seperti orang yang menyekutukan Tuhan. ketika mereka meninggal dunia, tidak percaya adanya kehidupan lagi setelah dunia. Dan mereka tidak percaya dengan apa yang digambarkan Al-Qur’an. Kemudian setelah mereka meninggal dunia, ternyata semua yang diceritakan al-Qur’an itu benar.

Lalu, mereka berkata pada Tuhan. “wahai Tuhanku! kembalikan lagi aku kedunia, aku berjanji akan beriman kepada-Mu. Sekarang aku benar-benar percaya, dan menyesali atas segala perbuatanku waktu di dunia”. Kemudian Tuhan menjawab, “kemarin-kemarin kemana aja, kenapa anda baru menyadari sekarang. Sudah terlambat, sekarang tidak ada kata maaf bagimu. Coba, kalau Tuhan sudah berkata begitu. Sedih banget, sengsara hidup ini. Mau minta tolong sama siapa? Sedangkan ikan hidupnya bahagia bertemu Tuhannya.

Nasi telah menjadi bubur tidak bisa dirubah menjadi nasi kembali. Itulah hidup. Jangan mengatakan menyesal kalau sudah terjadi. Tapi, bagaimana penyesalan itu tidak terjadi. Kita diberikan akal untuk berfikir, yang membedakan kita dengan ikan dan makhluk yang lainnya. Bagaimana menggunakannya pemberian itu dengan baik. Agar hidup ini bermakna dan berarti. Sebagaimana yang Tuhan harapkan.

Bagaimana kita bisa mengisi kehidupan ini dengan makna dan arti. Bisa selalu bersyukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Bisa menggunakan akal dengan baik, sesuai dengan tuntutan Tuhan. Wallahu’alam.

Madinat Nasr, 3/5/2010

Ajidin.